HUKUM
PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA
·
Hukum
Perdata
Hukum
perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan
antara
individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di
daratanEropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum
publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam
sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal pembagian
semacam ini. Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum
Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik
perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari
Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan
dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).
·
Hukum
perdata Indonesia
Salah
satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek
hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat
atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur
hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik
dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum
administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum
perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari,
seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian,
pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat
perdata lainnya.
Ada
beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut
juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon
(yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara
persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya
Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem
hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia
didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada
masa penjajahan.
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah
terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan
BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah
jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu
masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda
sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa
penyesuaian.
Yang
dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi
seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah
hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan
Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah
dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya
mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang
Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.
·
Keadaan
Hukum Perdata di Indonesia
Kondisi Hukum Perdata di Indonesia dapat dikatakan masih bersifat majemuk yaitu
masih beraneka. Penyebab dari keaneka ragaman ini ada 2 faktor yaitu:
1.
Faktor
Ethnis disebabkan
keaneka ragaman Hukum Adat Bangsa Indonesia, karena negara kita Indonesia ini
terdiri dari berbagai suku bangsa.
- Faktor Hostia Yuridisyang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga Golongan, yaitu:
- Golongan Eropa dan yang dipersamakan
- Golongan Bumi Putera (pribumi / bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan.
- Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab).
Adapun hukum yang diberlakukan
bagi masing-masing golongan yaitu:
- Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang di negeri Belanda berdasarkan azas konkordansi.
- Bagi golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) dan yang dipersamakan berlaku Hukum Adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar Hukum Adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
- Bagi golongan timur asing (bangsa Cina, India, Arab) berlaku hukum masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan Timur Asing (Cina, India, Arab) diperbolehkan untuk menundukan diri kepada Hukum Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam tindakan hukum tertentu saja.
Disamping itu ada
peraturan-peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia
seperti:
-
Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 no7.4).
-
Organisasi tentang Maskapai Andil Indonesia (IMA) Staatsblad 1939 no 570
berhubungan denag no 717).
Dan ada pula peraturan-peraturan
yang berlaku bagi semua golongan warga negara, yaitu:
-
Undang-undang Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912)
-
Peraturan Umum tentang Koperasi (Staatsblad 1933 no 108)
-
Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 no 523)
-
Ordonansi tentang pengangkutan di udara (Staatsblad 1938 no 98).
·
Kesimpulan:
Hukum
Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara
individu-individu dalam masyarakat. Hukum perdata yang berlaku di
Indonesia yaitu hukum agama dan hukum adat, yang merupakan campuran dari sistem
hukum-hukum eropa. Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut
Islam, maka dominasi hukum atau Syari’at Islam lebih banyak terutama di bidang
perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku
sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari
masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Sejarah Singkat Hukum
Perdata yang Berlaku di Indonesia
Sejarah
membuktikan bahwa Hukum Perdata yang saat ini berlaku di Indonesia, tidak lepas
dari Sejarah Hukum Perdata Eropa.
Bermula
dari benua Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi,
disamping adanya Hukum tertulis dan Hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum
Perdata Romawi pada waktu itu sebagai hukum asli dari negara-negara di Eropa,
oleh karena itu hukum di di Eropa tidak terintegrasi sebagaimana mestinya,
dimana tiap-tiap daerah memiliki peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan
setiap daerah itu berbeda-beda, Oleh karena adanya perbedaan terlihat jelas
bahwa tidak adanya kepastian hukum yang menunjang, sehingga orang mencari
jalan untuk kepastian hukum dan keseragaman hukum.
Pada
tahun 1804batas prakarsa Napoleon terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu
kumpulan peraturan yang bernama “Code Civil des Francais” yang juga dapat
disebut “Code Napoleon”. Dan mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada
di Jaman Romawi anatar lain masalah wessel, assuransi, dan badan-badan hukum.
Akhirnya pada jaman Aufklarung (jaman baru pada sekitar abad pertengahan)
akhirnya dimuat pada kitab undang-undang tersendiri dengan nama “Code de Commerce”.
Sejalan
degan adanya penjajahan oleh bangsa Belanda (1809-1811), maka Raja Lodewijk
Napoleon menetapkan: “Wetboek Napoleon Ingeright Voor het Koninkrijk Holland”
yang isinya mirip dengan “Code Civil des Francais atau Code Napoleon” untuk
dijadikan sumber Hukum Perdata di Belanda (Nederland).
Setelah
berakhirnya penjajahan dan dinyatakan Nederland disatukan dengan Perancis pada
tahun 1811, Code Civil des Francais atau Code Napoleon ini tetap berlaku di
Belanda (Nederland). Oleh karena perkembangan jaman, dan setelah beberapa tahun
kemerdekaan Belanda (Nederland) dari Perancis ini, bangsa Belanda mulai
memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari Hukum Perdatanya. Dan tepatnya 5
Juli 1830 kodifikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dan
WVK (Wetboek van koophandle) ini adalah produk Nasional-Nederland namun isi dan
bentuknya sebagian besar sama dengan Code Civil des Francais dan Code de
Commerce. Dan pada tahun 1948,kedua Undang-undang produk Nasional-Nederland ini
diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum).
Sampai
saat ini kita kenal denga kata KUH Sipil (KUHP) untuk BW (Burgerlijk Wetboek).
Sedangkan KUH Dagang untuk WVK (Wetboek van koophandle).
KONDISI HUKUM DAN PENEGAKAN HUKUM DI
INDONESIA
Indonesia
adalah negara hukum yang senantiasa mengutamakan hukum sebagai landasan dalam
seluruh aktivitas negara dan masyarakat. Komitmen Indonesia sebagai negara
hukum pun selalu dan hanya dinyatakan secara tertulis dalam pasal 1 ayat 3 UUD
1945 hasil amandemen. Dimanapun juga, sebuah Negara menginginkan Negaranya
memiliki penegak- penegak hukum dan hukum yang adil dan tegas dan bukan tebang
pilih. Tidak ada sebuah sabotase, diskriminasi dan pengistimewaan dalam
menangani setiap kasus hukum baik PIDANA maupun PERDATA. Seperti istilah di
atas, ‘Runcing Kebawah Tumpul Keatas’ itulah istilah yang tepat untuk
menggambarkan kondisi penegakkan hokum di Indonesia. Apakah kita semua
merasakannya? Apakah kita bisa melihat kenyataanya? Saya yakin pasti seluruh
masyarakat Indonesia juga melihat kenyataanya.
Kondisi
Hukum di Indonesia saat ini lebih sering menuai kritik daripada pujian.
Berbagai kritik diarahkan baik yang berkaitan dengan penegakkan hukum ,
kesadaran hukum , kualitas hukum, ketidakjelasan berbagai hukum yang berkaitan
dengan proses berlangsungya hukum dan juga lemahnya penerapan berbagai
peraturan. Kritik begitu sering dilontarkan berkaitan dengan penegakan hukum di
Indonesia. Kebanyakan masyarakat kita akan bicara bahwa hukum di Indonesia itu
dapat dibeli, yang mempunyai jabatan, nama dan kekuasaan, yang punya uang
banyak pasti aman dari gangguan hukum walau aturan negara dilanggar. Ada
pengakuan di masyarakat bahwa karena hukum dapat dibeli maka aparat penegak
hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakkan hukum secara menyeluruh
dan adil. Sejauh ini, hukum tidak saja dijalankan sebagai rutinitas belaka
tetapi tetapi juga dipermainkan seperti barang dagangan . Hukum yang seharusnya
menjadi alat pembaharuan masyarakat, telah berubah menjadi semacam mesin
pembunuh karena didorong oleh perangkat hukumyangmorat-marit.
Praktik
penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia hukum di peradilan,
peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan merupakan realitas
yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di negeri ini. Orang biasa yang
ketahuan melakukan tindak pencurian kecil, seperti anak dibawah umur saudara
Hamdani yang ‘mencuri’ sandal jepit bolong milik perusahaan di mana ia bekerja
di Tangerang, Nenek Minah yang mengambil tiga butir kakao di Purbalingga, serta
Kholil dan Basari di Kediri yang mencuri dua biji semangka langsung ditangkap
dan dihukum seberat beratnya. Sedangkan seorang pejabat negara yang melakukan
korupsi uang milyaran rupiah milik negara dapat bebas berkeliaran dengan
bebasnya. Berbeda halnya dengan kasus-kasus yang hukum dengan tersangka dan
terdakwa orang-orang yang memiliki kekusaan, jabatan dan nama. Proses hukum
yang dijalankan begitu berbelit-belit dan terkesan menunda-nuda. Seakan-akan
masyarakat selalu disuguhkan sandiwara dari tokoh-tokoh Negara tersebut. Tidak
ada keputusan yang begitu nyata. Contohnya saja kasus Gayus Tambunan, pegawai
Ditjen Pajak Golongan III menjadi miliyader dadakan yang diperkirakan korupsi
sebesar 28 miliar, tetapi hanya dikenai 6 tahun penjara, kasus Bank Century dan
yang masih hangat saat ini Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akhil Mochtar
ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan. Dalam operasi itu, KPK telah menyita
uang dollar Singapura senilai Rp 3 miliar yang menunjukkan penegakan hukum di
bangsa Indonesia dalam kondisi awas, hampir semua kasus diatas prosesnya sampai
saat ini belum mencapai keputusan yang jelas. Padahal semua kasus tersebut
begitu merugikan Negara dan masyarakat kita. Kapankan ini semua akan berakhir ?
Kondisi
yang demikian buruk seperti itu akan sangat berpengaruh besar terhadap
kesehatan dan kekuatan demokrasi Indonesia. Mental rusak para penegak hukum
yang memperjualbelikan hukum sama artinya dengan mencederai keadilan. Merusak
keadilan atau bertindak tidak adil tentu saja merupakan tindakan gegabah
melawan kehendak rakyat. Pada kondisi tertentu, ketika keadilan terus menerus
dihindari bukan tidak tidak mungkin pertahanan dan keamanan bangsa menjadi
taruhannya. Ketidakadilan akan memicu berbagai tindakan alami berupa
perlawanan-perlawanan yang dapat terwujud ke dalam berbagai aksi-aksi anarkhis
atau kekerasan yang kontra produktif terhadap pembangunan bangsa.
Dengan
kata lain, situasi ketidakadilan atau kegagalan mewujudkan keadilan melalui
hukum menjadi salah satu titik problem yang harus segera ditangani dan negara
harus sudah memiliki kertas biru atau blue print untuk dapat mewujudkan seperti
apa yang dicita citakan pendiri bangsa ini . Namun menta dan moral korup yang
merusak serta sikap mengabaikan atau tidak hormat terhadap sistim hukum dan
tujuan hukum dari pada bangsa Indonesia yang memiliki tatanan hukum yang baik ,
menurut penulis , sebagai gambaran bahwa penegakkan hukum merupakan karakter
atau jati diri bangsa Indonesia sesuai apa yang terkandung dalam isi dari
Pancasila dan Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 .dengan situasi dan kondisi
seperti sekarang ini norma dan kaidah yang telah bergerasar kepada rasa egoisme
dan individual tanpa memikirkan orang lain dan inilah nilai ketidakadilan akan
meningkatkan aksi anarkhisme, kekerasan yang jelas-jelas tidak sejalan dengan
karakter bangsa yang penuh memiliki asas musyawarah untuk mufakat seperti yang
terkadung dan tersirat dalam isi Pancasila .
Bangkitlah
Penegakkan Hukum Negeri ku INDONESIA karena Kami anak anak bangsa INDONESIA
yang Cinta Negeri Kami dan Kami SIAP melawan Penjajahan Model Baru terhadap
Pengakkan Hukum .
·
Indonesia Sebagai Negara Hukum
Indonesia merupakan negara hukum, hal tersebut dinyatakan
dalam pasal 1 ayat 3 UUD 1945 hasil amandemen.
Berdasarkan rechstaat sebagai landasan konseptual, itu
menggambarkan bahwa Indonesia tanpa adanya konstitusi pun merupakan negara yang
selalu berdasarkan hukum. Ini pun
menjadi keadaan yang faktual seperti cerita lama Van Vollen Hoven yang menunjukkan
adanya 19 wilayah hukum (rechtskringen) di Indonesia.
·
Penegakkan Hukum Di Indonesia
Dari
penjelasan di atas, pada dasarnya Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
hukum. Kata hukum disini seperti hal
yang sudah tidak ada nilainya untuk rakyat menengah kebawah. Oleh karenanya, sudah menjadi rahasia umum
bahwa saat ini hukum ibarat sebuah pisau yang sangat tajam jika digunakan ke
bawah namun sangat tumpul jika digunakan ke atas. Hukum di Indonesia saat ini dapat
dikendalikan dengan mudahnya oleh orang-orang yang berkuasa. Maksud orang-orang yang berkuasa disini
adalah unsur politik. Semuanya dapat
dikendalikan, hal ini memicu terjadinya Negara kekuasaan sentralis (machstaat).
Unsur
politik merupakan unsur utama yang menjadikan hukum di Indonesia seperti Negara
yang tidak mempunyai hukum. Banyak
masalah-masalah Negara yang ditimbulkan oleh unsur politik. Bahkan
Ketua KPK pun mengakui salah satu masalah Negara yaitu proses pemberantasan korupsi terhambat oleh
politik(Republika, Rabu, 27 Juli 2001).
Kasus-kasus hukum saat ini cenderung
melibatkan organisasi politik dan jabatan. Syafi’i ma’arif menyatakan jika keadaan hukum saat ini tidak segera
diatasi dan disembuhkan maka dalam jangka panjang akan mengakibatkan lumpuhnya
penegakkan hukum di Indonesia.
Hukum
saat ini cenderung sebagai alat untuk mewujudkan kepentingan para
penguasa-penguasa Negara. Pada masa
kolonialisme, hukum dijadikan alat untuk menjajah warga pribumi. Pada masa
Presiden Soekarno hukum dijadikan alat revolusi. Pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto hukum dijadikan alat pembangunan. Adapun pada masa reformasi
sampai sekarang hukum dijadikan alat kekuasaan (politik). Hal ini yang menjadi
salah satu faktor penyabab hancurnya penegakkan hukum di Indonesia.
·
Faktor-Faktor Hancurnya Sebuah
Penegakkan Hukum
1. Penegak hukum
menegakkan hukum sesuai dengan hukum namun tidak mewujudkan keadilan.
Contoh
: pencurian sandal jepit yang terjadi beberapa waktu yang lalu.
2. Penegak hukum
menegakkan keadilan tanpa melandasinya dengan suatu hukum.
Hukum
dan keadilan seharusnya berjalan seiringan. Penegak hukum perlu menegakkan
hukum namun juga penting memperhatikan sisi keadilan. Demikian juga penegak
hukum perlu menegakkan keadilan namun juga harus mendasarkannya pada suatu
aturan hukum.
·
Ketidakadilan Dalam Hukum
Dunia
hukum saat ini mendapatkan sorotan tajam dari berbagai masyarakat dalam negeri
maupun luar negeri. Bagaimana tidak,
selain tidak benar-benar dijalankan berdasarkan pancasila dan UUD, hukum Negara
di Indonesia juga tidak seimbang.
Terlihat jelas bahwa kasus-kasus lebih memberatkan pada masyarakat kecil
seperti contoh di atas yaitu kasus sandal jepit sedangkan para pejabat
pemerintahan yang kasus-kasusnya bisa direkayasa dengan mengandalkan uang dan
jabatan tinggi, sampai saat ini kasus tersebut masih belum selesai dengan
tanggapan yang minim dari para penegak hukum pemerintahan Indonesia. Hal tersebut membuktikan bahwa hukum di
Indonesia tidak sesuai dengan hukum Negara yaitu sila kelima dalam pancasila
yang bunyinya : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Contoh
kasus yang membuktikan bahwa tidak adanya keadilan dalam hukum di
Indonesia. Di Indonesia kita bisa
melihat seberapa mudahnya memutar-balikkan suatu kasus. Bagaimana suatu kasus
kecil dapat menjadi besar, dan sebaliknya, kasus besar yang menghabiskan uang
Negara bisa di buat menjadi lebih ringan atau dianggap sebagai kasus kecil.
Contoh saja di Banyumas, Jawa Tengah seorang nenek mengambil 3 buah kakao yang
bernilai Rp 2000 milik PT. Rumpun Sari Anta (RSA) yang mendapatkan hukuman
pidana 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan 3 bulan. Sedang dalam kasus Panda
Nababan yang berkedudukan selaku sekretaris fraksi PDIP yang di duga menerima
uang suap Rp 1,5 miliar dalam kasus travel cek dalam pemilihan Deputi Gubernur
senior Bank Indonesia pada tahun 2004 yang diungkap oleh jaksa penuntut umum
komisi pemberantasan korupsi (KPK) hanya diberi hukuman selama 1 tahun 5 bulan.
Menyedihkan sekali melihat para penegak hukum di Indonesia tidak berlaku adil terhadap
semua kalangan masyarakat.
Walaupun
kasus ini masih diduga adanya rekayasa, tetapi kita bisa melihat dengan
menerima Rp 1,4 miliar para penegak hukum memberikan hukuman 1 tahun 5 bulan
sangat tidak sebanding dengan kasus Nenek Minah yang hanya mengambil 3 buah
biji kakao yang bernilai Rp 2000 yang kemudian mendapat hukuman selama 1 bulan
15 hari penjara.
Selain
kasus-kasus yang terjadi pada kalangan atas dan kalangan bawah. Hukum di Indonesia juga tercemar oleh para
aparat hukum seperti jaksa dan hakimnya. Kasusnya adalah seorang jaksa tidak
bisa membuktikan kesalahan seorang terdakwa di pengadilan, bahkan terakhir
muncul satu kasus dimana jaksa gagal melaksanakan tugasnya sebagai penegak
hukum yang baik setelah surat dakwaannya dinyatakan tidak dapat diterima.
Adanya surat dakwaan yang tidak dapat diterima oleh majelis hakim, menunjukkan
bahwa jaksa tersebut telah menjalankan tugasnya dengan tidak profesional dan
bertanggung jawab. Ironisnya tidak diterimanya surat dakwaan tersebut
disebabkan karena hampir sebagian besar tanda tangan di berita acara
pemeriksaan (BAP) merupakan tanda tangan palsu.
Hakim sebagai orang yang dianggap
sebagai ujung tombak untuk mewujudkan adanya keadilan, ternyata tidak luput
juga dari cercaan masyarakat. Banyaknya putusan yang dianggap tidak adil oleh
masyarakat. Banyaknya kekecewaan terhadap pengadilan (hakim) ini terkait dengan
merebaknya isu mafia peradilan yang terjadi di tubuh lembaga berlambang
pengayoman tersebut. Institusi yang seharusnya mengayomi hukum ini sempat
menyeret nama pimpinan tertingginya sebagai salah satu mafia peradilan. Sungguh ironis sekali kenyataan yang kita
lihat sampai hari ini, yang semakin membuat bopeng wajah hukum Indonesia.
Ketiadaan
keadilan ini merupakan akibat dari pengabaian hukum (diregardling the law),
ketidakhormatan pada hukum (disrespecting the law), ketidakpercayaan
pada hukum (distrusting the law) serta adanya penyalahgunaan hukum (misuse
of the law).
·
Sistematika Hukum Perdata di Indonesia
Dalam KUH Perdata dibagi dalam 4 buku
yaitu:
Buku
I, tentang Orang(van persoonen); mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum
keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang
dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak
keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian
dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian
ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU
nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Buku
II, tentang Kebendaan(van zaken); mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum
yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan
dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang
dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya
tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang
bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda
berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih
atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah
dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang
agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah
dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
Buku
III, tentang Perikatan(van verbintennisen); mengatur tentang hukum perikatan
(atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya
mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan
kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang
jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari
(ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian),
syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang
perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai
acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa
dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
Buku
IV, tentang Daluarsa dan Pembuktian(van bewijs en verjaring); mengatur hak dan
kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan
hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika
Hukum Perdata di Indonesia menurut ilmu pengetahuan di bagi menjadi 4 bagian:
Hukum Perorangan atau
Badan Pribadi (personenrecht):
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum),tentang umur,kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,tempat tinggal(domisili)dan sebagainya.
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum),tentang umur,kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,tempat tinggal(domisili)dan sebagainya.
Hukum Keluarga
(familierecht):
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga / kekeluargaan seperti perkawinan,perceraian,hubungan orang tua dan anak,perwalian,curatele,dan sebagainya.
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga / kekeluargaan seperti perkawinan,perceraian,hubungan orang tua dan anak,perwalian,curatele,dan sebagainya.
Hukum Harta Kekayaan
(vermogenrecht):
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti perjanjian,milik,gadai dan sebagainya.
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti perjanjian,milik,gadai dan sebagainya.
Hukum Waris(erfrecht):
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia,dengan perkataan lain:hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia,dengan perkataan lain:hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
Sumber
:
http://ekasriwahyuningsih.blogspot.com/2013/04/hukum-perdata-yang-berlaku-di-indonesia.html
https://dwisetiati.wordpress.com/2012/06/05/sejarah-singkat-hukum-perdata-yang-berlaku-di-indonesia/