Hukum
perjanjian
1.Standar
kontrak
·
Pengertian
Adalah
perjanjian yang isinya telah ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis berupa
formulir-formulir yang digandakan dalam jumlah tidak terbatas, untuk ditawarkan
kepada para konsumen tanpa memperhatikan perbedaan kondisi para konsumen
(Johannes Gunawan)
perjanjian
yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir (Mariam
Badrulzaman)
Perjanjian
baku adalah perjanjian yang dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi siapapun
yang menutup perjanjian dengannya tanpa kecuali, dan disusun terlebih dahulu
secara sepihak serta dibangun oleh syarat-syarat standar, ditawarkan pada pihak
lain untuk disetujui dengan hampir tidak ada kebebasan bagi pihak yang diberi
penawaran untuk melakukan negosiasi atas apa yang ditawarkan, sedangkan hal
yang dibakukan, biasanya meliputi model, rumusan, dan ukuran.
Menurut Mariam Darus, standar kontrak terbagi dua yaitu
umum dan khusus.
1. Kontrak standar umum
artinya kontrak yang isinya telah disiapkan lebih dahulu oleh kreditur dan
disodorkan kepada debitur.
2. Kontrak standar khusus, artinya kontrak
standar yang ditetapkan pemerintah baik adanya dan berlakunya untuk para
pihak ditetapkan sepihak oleh pemerintah.
·
Jenis-jenis kontrak standar
Ditinjau dari segi pihak
mana yang menetapkan isi dan persyaratan kontrak sebelum mereka ditawarkan
kepada konsumen secara massal, dapat dibedakan menjadi:
a.
kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh produsen/kreditur;
b.
kontrak standar yang isinya merupakan kesepakatan dua atau lebih pihak;
c.
kontrak standar yang isinya ditetapkan oleh pihak ketiga.
Ditinjau dari format atau bentuk suatu
kontrak yang persyaratannya dibakukan, dapa dibedakan dua bentuk kontrak
standar, yaitu:
a. kontrak
standar menyatu;
b.kontrak
standar terpisah.
Ditinjau dari segi penandatanganan perjanjian
dapat dibedakan, antara:
a. kontrak standar yang baru
dianggap mengikat saat ditandata- ngani;
b. kontrak standar yang tidak
perlu ditandatangani saat penutupan.
Pengertian
perjanjian untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perjanjian, kita
melihat pasal 1313 KUHPdt, yaitu
“perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Ketentuan pasal
ini sebenarnya kur
ang
begitu memuaskan, karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut
adalah seperti :
(a) Hanya menyangkut sepihak
saja Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan”
sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak.
Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara
pihak-pihak.
(b) Kata perbuatan mencakup
juga tanpa konsensus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan
melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum
(onrechmatige daad) yang tidka mengandung suatu konsensus. Seharusnya pakai
kata “persetujuan”.
(c) Pengertian penjanjian
terlalu luas. Pengertian perjanjian pada pasal tersebut terlalu luas,
karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur
dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara
debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja.
(d) Tanpa menyebut
tujuan Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan
perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk
apa. Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas, maka perlu
dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian.
Berdasarkan
alasan-alasan tersebut, maka “perjanjian adalah suatu persetujuan dengan nama
dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk suatu hal dalam lapangan
harta kekayaan”. Hukum yang mengatur tentang perjanjian ini disebut hukum
perjanjian (law of contract). Perumusan ini erat hubungannya dengan
pembicaraan tentang syarat-syarat perjanjian yang diatur dalam pasal 1320
KUHPdt yang akan dibicarakan kemudian. Perjanjian yang dibuat dapat
berbentuk kata-kata secara lisan, dapat pula dalam bentuk tertulis berupa suatu
akta. Perjanjian yang dibuat secara tertulis (akta) biasanya untuk kepentingan
pembuktian, misalnya polis pertanggungan.
Apabila
diperhatikan perumusan perjanjian tersebut diatas tadi, tersimpullah
unsur-unsur perjanjian itu seperti:
(a) Ada pihak-pihak, sedikitnya
dua orang Pihak-pihak ini disebut subjek perjanjian. Subjek perjanjian ini
dapat berupa manusia pribadi dan badan hukum. Subjek perjanjian ini harus
mampu atau wenang melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam
undang-undang.
(b) Ada persetujuan antara
pihak-pihak itu Persetujuan disini bersifat tetap, bukan sedang berunding.
Perundingan itu adalah tindakan-tindakan pendahuluan untuk menuju kepada adanya
persetujuan. Persetujuan iyu ditunjuakan dengan penerimaan tanpa syarat atas
suatu tawaran. Apa yang ditawarkan oleh pihak yang satu diterima oleh pihak
yang lainnya.Yang ditawarkan adalah yang dirundingkan dan umumnya mengenai
syarat-syarat perjanjian.
(c) Ada tujuan yang akan
dicapai Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan
pihak-pihak itu, kebutuhan mana hanya dapat dipenuhi jiak mengadakan perjanjian
dengan pihak lain. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh undang-undang.
(d) Ada prestasi yang akan
dilaksanakan Dengan adanya persetujuan, maka timbullah kewajiabn untuk
melaksanakan suatu prestasi. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi
oleh pihak-pihak sesuai dengan perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban
membayar harga barang dan penjual berkewajiban menyerahkan barang.
(e) Ada bentuk tertentu, lisan
atau tulisan Bentuk ini perlu ditentukan, karena ada ketentuan
undang-undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu perjanjian mempunyai
kekuatan mengikat dan kekuatan bukti. Bentum tertentu itu biasanya berupa akta.
Perjanjian itu dapat dibuat secara lisan, artinya dengan kata-kata yang
jelas maksud dan tujuannya yang dipahami oleh pihak-pihak, itu sudah
cukup. Kecuali jika pihak-pihak menghendaki supaya dibuat secara tertulis
(akta).
(f) Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi
perjanjian Syarat-syarat tertentu ini sebenarnya sebagai isi perjanjian.
Karena dari syarat-syarat itulah dapat diketahui hak dan kewajiban pihak-pihak.
Syarat-syarat ini biasanya terdiri dari syarat pokokyang akan menimbulkan
hak dan kewajiban pokok, misalnya mengenai barangnya, harganya dan juga syarat
pelengkap atau tambahan, misaknya mengenai cara pembayarannya, cara penyerahannya,
dan lain-lain.
2.Macam-macam
perjanjian
(a) perjanjian
timbal balik dan perjanjian sepihak.
(b) Perjanjian
percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani.
(c) Perjanjian
bernama dan tidak bernama
(d) Perjanjian
kebendaan dan perjanjian obligator
(e) Perjanjian
konsensual dan perjanjian real
(a)
Perjanjian
timbal balik dan perjanjian sepihak.
Perjanjian
timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan
kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian timbal balik adalah pekerjaan
yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, perjanjian
jual-beli, sewa-menyewa, pemborongan bangunan, tukar-menukar. Perjanjian
sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak
kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu
berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek perikatan, dan pihak lain
berhak menerima benda yang diberikan itu. Yang menjadi kriteria perjanjian
jenis ini adalah kewajiban berprestasi kedua belah pihak atau satu pihak.
Prestasi biasanya berupa benda berwujud baik bergerak maupun tidak bergerak,
atau benda tidak berwujud berupa hak, misalnya hak untuk menghuni rumah.
Pembadaan ini mempunyai arti penting dalam praktek, terutama dalam soal
pemutusan perjanjian menurut pasal 1266 KUHPdt. Menurut pasal ini salah
satu syarat adalah pemutusan perjanjian itu apabila perjanjian itu
bersifat timbal balik.
(b)
Perjanjian
percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani.
Perjanjian
percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak
saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah. Perjanjian dengan
alas hak yang membenbani adalah perjanjian dalam nama terhadap prestasi dari
pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan
antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
Kontra
prestasi dapat berupa kewajiban pihak lain, tetapi juga pemenuhan suatu syarat
potestatif (imbalan). Misalnya A menyanggupi memberikan B sejumlah uang,
jika B menyerah-lepaskan suatu barang tertentu kepada A. Pembedaan ini
mempunyai arti penting dalam soal warisa berdasarkan undang-undang dan mengenai
perbuatan-perbuatan yang merugikan para kreditur (perhatikan pasal 1341 KUHPdt).
(c)
Perjanjian
bernama dan tidak bernama
Perjanjian
bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokan sebagai
perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli,
sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah
perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya terbatas.
(d)
Perjanjian
kebendaan dan perjanjian obligator
Perjanjian
kebendaan (zakelijke overeenkomst, delivery contract) adalah perjanjian untuk
memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian keberadaan ini
sebagai pelaksanaan perjanjian obligator. Perjanjian obligator adalah
perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak perjanjian, timbullah hak
dan kewajiban pihak-pihak. Pembeli berhak menuntut penyerahan barang, penjual
berhak atas pembayaran harga. Pentinganya pembedaan ini adalah untuk mengetahui
apakah perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian,
dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.
(e)
Perjanjian
konsensual dan perjanjian real
Perjanjian
konsensual adalah perjanjian yang timbul karna adanya persetujuan kehendak
antara pihak-pihak. Perjanjian real adalah perjanjian di samping ada
persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya,
misalnya jual beli barang bergerak, perjanjian penitipan, pinjam pakai
(pasal 1694, 1740, dan 1754 KUHPdt). Dalam hukum adat, perjanjian real justru
yang lebih menonjol sesuai dengan sifat hukum adat bahwa setiap pembuatan hukum
(perjanjian) yang objeknya benda tertentu, seketika terjadi persetujuan
kehendak serentak ketika itu juga terjdi peralihan hak. Hak ini
disebut
“kontan atau tunai”.
3.Syarat
sahnya perjanjian
Bagaimana
syarat sah suatu perjanjian? Berdasarkan pasal 1320 Kitap
Undang-Undang Hukum Perdata, terdapat 4 syarat suatu perjanjian dinyatakan
sah secara hukum, yaitu:
·
terdapat
kesepakatan antara dua pihak. Materi kesepakatan ini dibuat dengan kesadaran
tanpa adanya tekanan atau pesanan dari pihak mana pun, sehingga kedua belah
pihak dapat menunaikan hak dan kewajibannya sesuai
dengan kesepakatan;
·
kedua
belah pihak mampu membuat sebuah perjanjian. Artinya, kedua belah pihak dalam keadaan stabil dan tidak dalam pengawasan pihak
tertentu yang bisa membatalkan perjanjian tersebut;
·
terdapat
suatu hal yang dijadikan perjanjian. Artinya, perjanjian tersebut merupakan objek yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan;
·
hukum
perjanjian dilakukan atas sebab yang benar. Artinya, perjanjian yang disepakati
merupakan niat baik dari kedua belah pihak dan bukan ditujukan kejahatan.
Orang
yang membuat suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada azasnya, setiap
“orang yang sudah dewasa” atau “akilbalig” dan sehat pikirannya, adalah cakap
menurut
hukum.
Dalam pasal 1330 kitab Undang-undang Hukum Perdata disebutkan sebagai
orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian :
·
orang-orang
yang belum dewasa
·
mereka
yang ditaruh didalam pengampunan
·
orang-orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan pada umumnya
semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian
tertentu.
Dari
sudut rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan
“terikat”
oleh
perjanjian itu dan mempunyai cukup kemampaun untuk menginsyafi benar-benar akan
tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Dedangkan dari sudut
ketertiban hukum, oleh karena seorang yang membuat sesuatu perjanjian itu
berarti mempertaruhkan
kekayaanya,
orang tersebut harus seseorang yang sungguh-sungguh berhak berbuat bebas dengan
harta kekayaannya. Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu
menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu
perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampunan menurut hukum tidak
dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya. Ia berada dibawah kekuasaan
pengampunnya. Kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Kalau seorang
anak yang belum dewasa harus diwakili oleh orang tua atau walinya, maka seorang
dewasa yang ditaruh dibawah pengampunan harus diwakili oleh pengampun atau
kuratornya. Menurut kitab Undang-undang Hukum Perdata, seorang perempuan
yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau
izin(kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 kitab Undang-undang Hukum
Perdata). Untuk perjanjian-perjanjian mengenai soal-soal kecil yang dapat
dimasukan dalam
pengertian
“keperluan rumahtangga” maka dianggaplah istri itu telah dikuasai oleh
suaminya. Dengan demikian maka seorang stri dimasukkan dalam golongan
orang-orang yang tidak cakap membuat suatu perjanjian. Perbedaannya dengan
seorang anak yang belum dewasa adalah bahwa seorang anak harus diwakili oleh
orang tua/wali, sedangkan seorang istri harus “dibantu” oleh sang suami. Kalau
seorang dalam membuat suatu perjanjian “diwakili” oleh orang lain, maka ia
tidak membuat perjanjian itu sendiri. Tetapi kalau seorang “dibantu”, ini
berarti bahwa ia
bertindak
sendiri, hanya ia didampingi oleh orang lain yang membantunya itu. Bantuan
tersebut dapat diganti dengan surat kuasa atau izin tertulis. Dan terdapat
syarat perjanjian objektif dan subjektif. Dalam halnya suatu syarat objektif,
maka kalau syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu adalah “batal demi
hukum”. Artinya : dari
semula
tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
Tujuan para pihak mengadakan perjanjian tersebut, yakni melahirkan suatu
perkaitan hukum adalah gagal. Dengan demikian maka tiada dasar untuk saling
menuntut dimuka hakim. Dalam hal syarat subjektif maka jika syarat itu
tidak dipenuhi, perjanjian bukan batal demi hukum, tetap salah satu pihka
mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian itu digagalkan. Pihak yang meminta
pemnbatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberi
kesepakatannya secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang dibuatnya itu mengikat
juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang meminta
pembatalan tadi.
Dengan
demikian nasib sesuatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung
pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya
4.Saat
lahirnya perjanjian
Menurut
azas konsensualitas, sesuai perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya
sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok
dari apa yang menjadi objek perjanjian. Sepakat adalah suatu pesesuaian paham
dan kehendak antara dua pihak tersebut . apa yang dikehendaki oleh pihak satu
adalah yang dikehendaki oleh pihak lainnya, meskipun tidak sejurusan tapi
secara timbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain. Dengan
demikian maka untuk mengetahui apakah telah dilahirkan suatu perjanjian dan
bilamanakah perjanjian itu dilahirkan, harus dipastikan apakah tercapai
kesepakatan tersebut dan bilamana tercapainya sepakat itu. Menurut
ajaran yang paling tua, harus dipegang teguh tentang adanya suatu persesuaian
kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua belah pihak itu berselisih,
tak dapat dilahirkan suatu perjanjian. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1331 (1) dinyatakan bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya,
apabila obyek hukum yang dilakukan tidak berdasarkan niat yang tulus, maka secara otomatis hukum perjanjian tersebut dibatalkan demi
hukum. Sehingga masing-masing pihak tidak mempunyai dasar penuntutan di
hadapan hakim. Akan tetapi, apabila hukum perjanjian tidak memenuhi unsur subjektif, misalnya salah satu pihak berada dalam
pengawasan dan tekanan pihak tertentu, maka perjanjian ini dapat dibatalkan di
hadapan hakim. Sehingga, perjanjian tersebut tidak akan mengikat kedua belah
pihak. Hukum perjanjian ini akan berlaku apabila masing-masing pihak
telah menyepakati isi perjanjian. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana
apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian ini (wan prestasi)? Terdapat langkah pasti yang bisa
mengatasi persoalan ini, yaitu pihak yang tidak melaksanakan perjanjian akan
dimintai tanggung jawabnya sebagai pihak yang telah lalai atau bahkan
melanggar perjanjian. Pihak yang tidak melaksanakan perjanjian diberlakukan hal
sebagai berikut.
1.mengganti kerugian yang diderita oleh pihak yang satunya;
2.materi perjanjiannya dibatalkan oleh kedua belah pihak
atau di hadapan hakim;
3.mendapatkan
peralihan resiko; dan
5.Pembatalan
dan pelaksanaan suatu perjanjian
Pembatalan suatu
perjanjian
Dalam
syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa apabila
syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi hukum (null and
void). Dalam hal demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada perjanjian
dan semula tidak ada perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat
perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk melakukan suatu perjanjian yang
mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu
menuntut pihak yang lain di muka hakin karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim
ini diwajibkan, karena jabatannya menyatakan tidak ada perjanjian atau
perikatan. Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan
mengenai syarat yang subjektif, perjanjian ini bukan batal demi hukum, tetapi
dapat dimintakan pembatalan (cancelling) oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah:
pihak yang tidak cakap menurut hukum, dan pihak yang memberikan perijinan
atau menyetujui itu secara tidak bebas. Tentang perjanjian yang ada
kekurangannya mengenai syarat-syarat subjektifnya yang tersinggung adalah
kepentingan seseorang, yang mungkin tidaak mengingini perlindungan hukum
terhadap dirinya. Oleh karna itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai
syarat subjektif, oleh Undang-undang diserahkan pada pihak yang berkepentingan
apakah ia menghendaki pembatalan perjanjian atau tidak. Jadi, perjanjian yang
demikian itu, bukannya batal demi hukum, tapi dapat dimintakan
pembatalan. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan
tadi tidaak bebas, yaitu:
·
Pemaksaan
adalah
pemaksaan rohani atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan fisik atau badan.
·
Kehilafan atau Kekeliruan
Apabila
salah satu pihak khilaf tentang hal-hal pokok dari apa yang diperjanjikan atau
tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian,
ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kehilafan tersebut
harus sedemikian rupa, hingga, seandainya orang ini tidak khilaf mengenai hal
tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
·
Penipuan
Apabila
satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan – keterangan palsu
atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik(tipu-muslihat), untuk
membujuk para lawannya memberikan perijinan. Pihak yang menipu itu bertindak
secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Dengan demikian maka
ketidak-cakapan dan ketidak-bebasan dalam memberikan perijian dalam suatu
perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak cakap dan pihak yang tidak
bebas dalam memberikan kesepakatannya itu untuk meminta pembatalan perjanjiannya.
Dengan sendirinya harus mengerti bahwa pihak lawan dari orang-orang tersebut
tidak boleh meminta pembatalan. Hak meminta pembatalan hanya ada pada
satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh Undang-undang diberi perlindungan.
Meminta pembatalan oleh pasal 1454 dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dibatasi sampai batas waktu tertentu yaitu 5 tahun: dalam
hal ketidak- cakapan suatu pihak, sejak orang ini cakap menurut hukum, dalam
hal paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam hal kehilafan
atau penipuan sejak lahir diketahuinya kehilafan atau penipuan itu. Pembatasan
waktu tersebut tidak berlaku terhadap pembatalan yang diajukan selaku pembela
atau tangkisan yang mana selalu dapat dikemukakan. Memang ada dua cara untuk
meminta pembatalan perjanjian. Pertama, pihak yang berkepentingan dapat secara
aktif yaitu sebagai penggugat meminta kepada hakin untuk mempbatalkan
perjanjian. Kedua, menunggu sampai ia diguga dimuka hakim untuk memenuhi
perjanjian tersebut. Terhadap azas konsensualitas yang dikandung oleh pasal
1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata , ada kekecualiannya yaitu, oleh Undang-undang
ditetapka suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian, misalnya
perjanjian penghibahan benda tak bergerak harus dilakukan dengan akte notaris,
perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis dan lain sebagainya.
Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan sesuatu formalitas atau bentuk cara
tertentu, dinamakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yag demikian itu
tidak memenuhi formalitas akan ditetapkan oleh Undang-undang, maka ia adalah
batal demi hukum.
Pelaksanaan suatu
perjanjian
Suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain,
atau dimana dua orang saling berjanji untuk melasanakan sesuatu. Menilik
macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian dibadi
menjadi tiga macam:
1) Perjanjian
untuk memberikan / menyerahkan suatu barang.
Contohnya:
jual-beli, tukar-menukar, menghibahkan atau pemberian, sewa-menyewa, pinjam- pakai.
2) Perjanjian
untuk berbuat sesuatu
Contohnya:
perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk
membuat garansi, dan lain-lain.
3) Perjanjian
untuk tidak berbuat sesuatu
Contohnya:
perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan
suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain dan sebaginya.
Suatu
persoalan hukum dalam hukum perjanjian ialah persoalan apakah jika si berhutang
atau si debitur tidak menepati janjinya, si berpiutang atau kreditur dapat
mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan itu artinya apakah si
berpiutang dapat dikuasakan oleh hakim untuk mewujudkan atau merealisasikan
sendiri apa yang menjadi haknya menurut peranjian. Jika itu terjadi, kemungkinan
perjanjian tadi dapat dieksekusi secara rill. Perjanjian untuk berbuat sesuatu
(melakukan suatu perbuatan) juga secara ,udah dapat dijalankan secara rill,
asal saja bagi si berpiutang (kreditur)tidak penting oleh siapa perbuatan itu
dilakukan , misalnya membeuat sebuah garasi, yang dapat dengan mudah dilakukan
oleh orang lain. Kalau yang harus dibuat itu adalah lukisan, perbuatan itu
dapat dillakukan oleh orang lain selain pelukis yang menjanjikan sebiuh
lukisan. Karena itu, maka perjanjian bersifat sangat pribadi , tidak
dapat dilaksanakan secara rill, apabila pihak yang menyanggupi melakukan hal
tersebut tidak menepati janjinya. Perjanjian memberikan barang tertentu
(artinya barang yang telah disetujui atau dipilih), dapat dikatakan bahwa ahli
hukum yurisprudensi adalah sependapat bahwa eksekusi rill itu dapat dilakukan,
misalnya jual-beli. Suatu barang yang bergerak yang tertentu, jika mengenai
barang yang tak tertentu maka eksekusi rill tak mungkin dilakukan. Untuk
melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas dan
cermat apa saja isi dari perjanjian-perjanjian tersebut. Menurut pasal 1339
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan
Undang-undang. Dengan demikian maka setiap perjanjian dilengkapi dengan
aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-undang, yang terdapat dalam adat
kebiasaan, sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan harus
diindahkan.
http://www.academia.edu/7287203/Hukum_perjanjian_1._Standar_kontrak_Pengertian